Sebuah analogi sederhana namun kaya makna.
Jika kita memiliki gelas kosong, maka kita dapat mengisinya dengan air jernih sampai gelas itu penuh. Namun jika gelas yang kita miliki sudah penuh, kita tidak dapat mengisinya lagi. Karena jika kita paksakan, maka kita akan mendapati air yang bertumpahan. Begitupun jika gelas yang kita miliki hanya kosong separuh, maka air yang dapat kita isi hanyalah separuh sisanya.
Dan jika analogi ini kita lihat dari sudut pandang menuntut ilmu ataupun mencari nasehat, maka kita harus memposisikan diri kita sebagai gelas kosong. Yang siap diisi oleh ilmu, oleh nasehat, oleh kebaikan, ataupun oleh kebenaran. Sehingga apa-apa yang di berikan tidak tumpah, melainkan selalu terserap. Jadilah gelas kosong sepanjang kelas kehidupan berlangsung.
Tidak berarti kita menjadi orang yang apatis dan menerima segalanya, sehingga mudah disetir. Sama sekali bukan seperti itu. Pasanglah antivirus di dalam akal kita, yang akan menyaring semua keabnormalan ide. Melindungi akal dan hati kita dari keburukan yang berbaju indah, yang di sodorkan kepada kita. Jadilah kritis namun jangan pesimis. Setelah menerima apa yang ditawarkan, segeralah latih akal untuk berfikir dan menggali maknanya. Tarik semua pembelajaran dan hikmah.
Jangan pula menjadi orang yang penuh prasangka terhadap ide-ide baru yang tidak familiar, terhadap nasehat-nasehat yang tidak diharapkan, atau kebenaran yang tidak menyenangkan. Sehingga walau gelas memang sudah kosong, tetapi air tidak bisa masuk, karena terhalang oleh sebuah ‘tutup gelas’.
Kita bisa melihat orang-orang semacam itu di seminar/ pelatihan/ kelas/ pengajian. Ketika banyak orang-orang yang menjadi cerah wajahnya dengan ilmu yang baru di terima, mereka justru selalu saja dapat menemukan hal-hal negatif untuk di bicarakan. Ketika orang-orang lain menjadi bersemangat untuk segera menerapkan ilmu baru, mereka justru merasa menyesal telah datang.
Bayangkan perbedaannya pada saat kita menjadi gelas kosong, gelas separuh kosong, dan gelas penuh. Itulah keberagaman jenis orang yang hadir di sebuah lingkaran ilmu. Sehingga di akhir majlis, ada orang-orang yang menjadi tercerahkan dan memahami hampir semua materi, ada orang yang separuh paham, namun ada pula orang yang malah bingung dan sama sekali tidak mengerti.
Sang guru sedang menuang ilmunya di majlis itu. Ilmu yang berupa gabungan dari nasehat, hukum, kebenaran, dll. Hanya gelas yang kosong yang dapat menampung semua itu.
Coba kita tanya diri kita sendiri, berapa kali kita menghadiri pelatihan/ seminar/ pengajian, namun akhlak kita belum berubah ? Apa itu karena kita belum ikhlas menerima semua ilmu itu, sehingga kita tidak meluruskan niat dan benar-benar berusaha menjadi gelas kosong yang bisa menampung semua ilmu. Atau malah, kita memang sengaja tidak mengosongkan gelas dan malah memasang tutup, sehingga semua ilmu itu tertolak.
Apakah di saat itu kita sedang sombong ? Karena yang di maksud sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia ( HR. Muslim ).
Mungkin tutup yang terpasang erat, adalah upaya kita untuk menolak melihat kebenaran yang di bawa oleh ilmu itu?
Mungkin juga kah, penolakan kita untuk mengosongkan gelas dan menampung semua ilmu yang akan datang, adalah dari sikap kita yang meremehkan sang guru, meremehkan jenis ilmu yang di berikan, meremehkan tempatnya, dll.
Astaghfirullahal’adzhim.
Padahal jika kita tidak sesombong itu, dan kita bersedia mengosongkan –setidaknya-sebagian dari gelas kita untuk menampung kucuran air yang jernih,
Walau setengah bagian dari gelas kita saat itu hanya terisi oleh air yang keruh.
Namun ketika kita sudah tidak sombong lagi, dan bersedia menerima ilmu. Maka,
Air jernih akan mengucur dan mengisi ruang gelas yang kosong hingga penuh. Bercampur dengan air keruh di dalam gelas. Kekeruhan air itu memudar karena tercampur oleh air bersih. Lalu ketika kita terus menerima , maka air didalam gelas akan mulai meluap dan tumpah. Dan tahukah, air seperti apa yang terbuang pada saat itu ? Ya benar, air yang terbuang dari gelas kita adalah air keruh itu. Sehingga yang tertinggal di dalam gelas kita hanyalah air yang jernih.
***
Bagaimana jika kita yang menjadi orang yang membagi ilmu, menjadi orang yang menuangkan air, menjadi si pemberi nasehat ?
Orang-orang yang di kirimkan kepada kita yang membagi masalahnya kepada kita, ada yang datang hanya ingin bercerita tanpa berharap nasehat, dan ada pula yang berharap solusi.
Sehingga kita harus pandai-pandai melihat, apakah gelas yang kita hadapi tertutup, kosong, atau terisi sebagian. Karena dengan mengetahui keadaaan orang yang bersangkutan, kita akan mampu mengatur tingkat pengharapan kita. Tingkat pengharapan ; adanya respon positif terhadap nasehat kita, diterimanya nasehat kita, dijalankannya solusi-solusi yang kita berikan, dll.
Memang jika orang yang tersebut adalah orang yang dekat dengan kita, yang kita sayangi, maka kita akan menjadi sangat subjektif. Kita akan berusaha sekuat mungkin untuk menolongnya. Tingkat pengharapan kita kepadanya akan sangat tinggi. Kita terus berharap agar orang yang bersangkutan akan berubah. Dan ketika orang yang di harapkan untuk berubah, ternyata tetap melakukan hal yang sama atau bahkan lebih buruk, maka kita akan sangat kecewa. Hal itu karena harapan kita kepadanya sangatlah tinggi, sehingga sakit rasanya ketika jatuh.
Namun inilah tantangannya. Setiap dari kita memang wajib mengingatkan, wajib saling memberi nasehat, namun kita tidak akan di minta pertanggung jawabannya terhadap hasil nya kelak. Bahkan Rasulullah saw pun hanya bertugas sebagai pemberi peringatan dan sebagai suri tauladan.
Salah satu cara untuk me’manage’ pengharapan kita, maka kita harus jeli melihat. Jika orang itu datang membawa gelas kosong dan kita bisa mengisi penuh gelas itu, maka kita dapat berharap lebih dari orang yang membawa gelas yang hanya setengah kosong. Dan jika orang itu membawa gelas yang terpasangi tutup, kita dapat menyadarinya dan terhindar dari kekecewaan.
Bukankah kita telah di ajari, bahwa jika kita melihat ketidakbenaran terjadi; maka kita dapat merubahnya dengan tangan kita. Jika tidak bisa , maka kita dapat berusaha merubahnya dengan lisan kita, dan jika kita tidak mampu, maka kita dapat menolaknya dengan hati kita, walau itu adalah selemah-lemahnya iman.
Kita dapat merubah seseorang/ lingkungan dengan tangan kita, pada saat kita memiliki kewenangan / kekuasaan terhadap mereka. Dimana kita dapat memberi konsekuensi terhadap keburukan yang terjadi, dan di harapkan dengan konsekuensi itu, orang/ lingkungan menjadi kapok dan berubah.
Namun lebih seringnya, kita hanya mampu menasehati dengan lisan, ataupun hanya mampu tuk mendoakan di dalam hati. Dan karenanyalah kita harus mampu mengontrol tingkat pengharapan kita. Karena ketidak mampuan mengontrol pengharapan kita, dapat berbuah menjadi rasa kecewa yang berlipat-lipat, dan dapat berakhir dengan rasa cuek terhadap apapun yang terjadi dengan orang yang bersangkutan. Kita menjadi apatis.
Berbeda ketika kita sudah mampu mengelola pengharapan kita. Kita akan ikhlas memberi ilmu, menasehati, menolong, tanpa berfikir tentang di terima dan dijalankannya nasehat-nasehat kita. Jika di jalankan, maka insyaAllah kita akan terhindar dari sikap puas diri, dan kalaupun di tolak kita akan terhindar dari sikap berputus asa. Pada saat itu kita bukanlah bersikap cuek kepada orang yang bersangkutan, namun kita bersikap tawakkal. Menyerahkan segala sesuatunya kembali kepada Allah.
Namun jika orang yang bersangkutan, kelak menyadari semua kesalahannya, datang kembali meminta nasehat, meminta tolong agar di bantu, dan ber azzam ingin berubah. Maka saat itu kita wajib untuk kembali menasehati, kembali mengingatkan kepada kebaikan. Kembali berada di sisinya , sebagai saudara/i sesame muslim. Sebagai sebuah bangunan utuh.
Wallahu’alam
By: yunieza ( 100210).
Sedikit berbagi nasehat-nasehat yang di berikan oleh guruku, ibu Ania dan beberapa pemikiran dari Mario teguh, serta sedikit dari renunganku. Semoga bermanfaat.
Sesungguhnya semua kebenaran itu berasal dari Allah swt, dan segala kesalahan itu berasal dari hawa nafsuku dan juga syetan.
Jadilah Gelas Kosong
Kamis, 05 Agustus 2010
Label:
Inspirasi
Terima Kasih telah berkunjung di Blog SIEF Empowerment.
Blog Motivasi, Inspirasi, Pengembangan diri dan bisnis. Sukses adalah Hak kita semua, mari benahi diri untuk masa depan yang lebih baik. Salam