[TANYA] Saya seorang pencari tuhan yang baru faham akan arti ketuhanan. Namun saya telah lama meninggalkan ibadah ritul baik wajib maupun sunnah. Apakah saya perlu mursyid untuk menempuh suluk?
[JAWAB] Setelah lama meninggalkan ibadah sunnah maupun wajib, apakah masih ada sebersit kerinduan untuk mengabdi dan tunduk pada Allah ta’ala? Apa ada sedikit rasa ‘nelangsa’ ketika melihat orang melakukan shalat dengan khusyuk? Rindu ingin bisa begitu juga?
Kalau ya: artinya masih ada. Biar setitik pun, ada.
Allah sendiri yang menjaga setitik cahaya kerinduan itu di hati sampiyan. Jagalah cahaya itu. Syukuri dengan menyikapinya. Kembalilah mengerjakan apa yang Dia perintahkan untuk kita jalankan, sebelum Dia mengambil kembali cahaya-Nya itu. Jadikan kerinduan itu bahan baku kita untuk ibadah. Karena pada dasarnya, ibadah tidak bisa dipaksa.
Ketika Dia berkehendak untuk menarik kita mendekat kepada-Nya, ada dua cara: kita mendekat dengan sukarela, atau kita terpaksa ‘diseret’-Nya ke dalam ampunan serta rahmat-Nya dengan rantai ujian dan cambuk kesulitan, kebingungan atau penderitaan, yang pasti—tidak bisa tidak—akan membuahkan sebuah permohonan tolong dan ampun dengan jujur, dari dasar hati kita yang terdalam. Kalau saya, saya cenderung memilih jalan sukarela.
Ada tak terhingga cara untuk kembali kepada-Nya. Tapi suka atau tidak, kita dijadikan-Nya sebagai ummat Muhammad SAW. Karena Muhammad SAW adalah pemegang kunci pintu menuju-Nya di periode ini, maka suka atau tidak, cara kembalinya kita harus ada dalam ruang lingkup ajaran Beliau SAW. Percayalah, cepat atau lambat kita akan melalui jalan Beliau SAW, meski bisa jadi, saat ini masih enggan.
Berdoalah, mohonlah sepenuh hati, untuk dibuat-Nya memahami, walaupun sekarang masih belum melakukan ibadah. Dia mendengar permohonan semua orang, bukan hanya mendengar orang yang beribadah saja. Namun hanya permohonan sepenuh hati lah yang diutamakan-Nya. Ia sungguh-sungguh mendengar mereka yang butuh kepada-Nya dengan jujur, bukan hanya di mulut saja.
Ketika Dia berkehendak untuk menarik kita mendekat kepada-Nya, ada dua cara: kita mendekat dengan sukarela, atau kita terpaksa ‘diseret’-Nya ke dalam ampunan serta rahmat-Nya dengan rantai ujian dan cambuk kesulitan, kebingungan atau penderitaan, yang pasti—tidak bisa tidak—akan membuahkan sebuah permohonan tolong dan ampun dengan jujur, dari dasar hati kita yang terdalam.
Seorang mursyid yang benar hanya merupakan perpanjangan tangan Rasulullah SAW. Bertemu mursyid pun, pada dasarnya yang ia lakukan hanya mengembalikan kita ke jalan Muhammad SAW, tapi dengan penyesuaian-penyesuaian yang spesifik untuk diri anda pribadi.
Apa tujuan semua ritual itu? Untuk apa? Pada dasarnya, untuk membersihkan hati, menundukkan sifat-sifat jasadi, dan membuka pintu ‘keterhubungan’ dengan Allah ta’ala. Mungkin sekarang belum terasa, dan kata-kata ini belum terasa benarnya. Tapi setidaknya cobalah belajar membedakan masa-masa sebelum kita melakukan ibadah, dan ketika melakukannya—dengan (disertai penghadapan) hati—.
Kalau sudah terasa ‘enaknya’ dan manfaatnya, barulah kita enggan untuk tidak ibadah. Tapi, kalau dalam melakukannya tidak dengan—hati yang menghadap pada Allah—, ibadah atau tidak, sama saja. Tak ada bedanya.
Semoga membantu.
Salaam,
Herry Mardian
by. SULUK