An-Nur (24): 35,36,37
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti misykat, yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu seakan-akan bintang bercahaya. (Pelita itu) dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, pohon yang tidak tumbuh di Timur maupun di Barat, yang minyaknya saja hampir-hampir dengan sendirinya bercahaya walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Ia kehendaki. Dan Allah memperbuat perumpamaan perumpamaan bagi manusia, karena Allah-lah yang mengetahui segala sesuatu.
Lampu itu terdapat pada mereka yang dimuliakan Allah dimana Nama Allah selalu disebut. Karena itu pujilah Allah selalu di waktu pagi dan malam. Mereka adalah yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah (dzikkrullah), dan (dari) menegakkan sholat dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada waktu dimana hati dan penglihatan dibalikkan ".
Melalui Firman ini, dengan indah Allah memberikan perumpamaan tentang bagaimana Allah 'berhubungan' dengan kita makhluk ciptaanNya, yang dengan singkat dikatakanNya:
"Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Ia kehendaki".
Marilah kita pergunakan kesempatan ini untuk menyimak perumpamaan Allah ini.
Sumber cahaya seperti: bintang, matahari, medan magnit, api, lampu, dll. berfungsi bukan hanya sebagai penerang penglihatan, tetapi juga adalah substance utama penopang hidup dan kehidupan manusia, karena, sumber cahaya adalah energi dalam bentuk paling cair yang siap mengalir. Salah satu contoh, misalnya, cahaya matahari. Cahaya matahari adalah ingredient utama dalam pembentukan chlorophyl yang menjadi motor pertumbuhan tumbuh-tumbuhan di darat dan algae di laut.
Tumbuh-tumbuhan dan algae adalah pondasi dari proses food chain dari dunia tanaman ke dunia binatang, kemudian ke dunia manusia kemudian ke dunia bakteri dan kembali lagi ke dunia tanaman.
Mengalirnya energi dari suatu sumber cahaya adalah dalam bentuk cahaya. Sebab itu cahaya disebut juga radiated energy. Dalam jargon fisika, cahaya-cahaya atau arus-arus energi dari seluruh sumber-sumber cahaya, dikatakan mengalir seperti 'jalannya' gelombang, dengan frekwensi tertentu masing-masing, melalui 'sungai-sungai' yang dalam konvensi ilmu fisika kesemua sungai-sungai ini disebut spektrum elektromagnetik.
Cahaya tertentu, tergantung darimana cahaya itu bersumber, mengalir lewat 'sungai' tertentu yang diberi nama ‘frequency range’, sedangkan tinggi naik turunnya gelombang cahaya yang mengalir di sungai tersebut disebut 'frequency band'. Karena itu, electromagnetic spectrum didefinisikan sebagai jajaran cahaya (jajaran radiasi energi) yang urut-urutan jajarannya ditentukan oleh tingginya frekwensi (atau bisa juga, besarnya energi yang terkandung) dari masing-masing cahaya.
Sampai saat sekarang, sebetulnya hal ini terutama dikarenakan keterbatasan peralatan, dikatakan bahwa jajaran cahaya ini – dijajarkan dari yang enersinya lemah ke yang kuat – dimulai dari gelombang radio (frekwensi 104 sampai 108 hz); gelombang microwave frekwensi 108 sampai 1011 hz); gelombang infra merah (frekwensi 1011 sampai 1014.9 hz); gelombang yang dapat dilihat mata, visible wave (frekwensi 1014.8 sampai 1014..9hz); dan gelombang Sinar X, yang terdiri dari gelombang ultraviolet dan gelombang gamma (frekwensi 1014.9 dan selebihnya).
Sampai di sini, dengan mengamati jajaran cahaya ini, jelaslah bagi kita sekarang kalimat pertama dari perumpamaan Allah di atas, yaitu, "cahaya di atas cahaya". Lebih dari itu, dari penjelasan di atas kita ketahui sekarang bagaimana hubungan antara tiap cahaya dari "cahaya di atas cahaya", yaitu makin kuat enersi suatu cahaya semakin tinggi frekwensinya.
Pertanyaan selanjutnya yang ingin kita jawab adalah bagaimana suatu sumber cahaya dapat berhubungan dengan sebuah benda? Untuk ini, marilah kita mundur sebentar mempelajari aspek fisika yang lain, yang kita perlukan kelak dalam penjelasan ini.
Ilmu fisika membuktikan bahwa benda dan energi adalah dua permukaan yang berbeda dari mata uang yang sama. Selanjutnya ilmu fisika juga menunjukkan bahwa sebenamya setiap benda (matter), termasuk manusia – yang jasmaninya adalah tidak lebih dari kumpulan atom bahan mineral dasar – sebenarnya selalu bergetar masing-masing pada frekwensi tertentu, misalnya At-Taqabun, ayat 1.
Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang di langit dan apa yang di bumi; hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua puji-pujian; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Jadi setiap benda dapat kita ganti namanya dengan frekwensinya. Benda A, misalnya, bisa kita identify dengan frekwensi 'a'. Hal ini bisa terjadi karena keunikan 'kecepatan berjalannya (baca: gelombang)' dari masing-masing elektron (salah satu partikel dari atom) yang, seperti kita sebut di atas, menjadi substansi dasar dari tiap benda maupun jasmani manusia. Kita tidak dapat merasakan getaran-getaran itu karena keterbatasan indera kita.
Sekarang kita tahu bahwa cahaya, atau radiated energy 'berjalan' seperti gelombang dengan frekwensi tertentu. Begitu pula sekarang kita tahu bahwa setiap benda, termasuk manusia, sebenarnya adalah energi (hanya saja kurang 'liquid' dibandingkan dengan cahaya) yang juga bergetar.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana hubungan antara sebuah sumber enersi yang bergetar bisa berhubungan dengan enersi benda yang juga bergetar?
Untuk dapat menerima cahaya, atau tepatnya, pembiasan aliran enersi dari suatu sumber cahaya/energi, setiap benda harus dapat beresonansi, yaitu bergetar pada frekwensi yang sama, dengan cahaya yang dipancarkan si sumber cahaya.
Contohnya, pertama, lampu sodium kita lihat berwarna kuning karena atom sodium beresonan dengan atom pada retina mata kita yang diartikan oleh otak kita sebagai kuning. Begitu juga dengan lampu mercury yang berwarna biru. Manusia yang kebetulan melihat lampu sodium atau lampu mercury ini menerima pembiasan enersi sebesar kurang lebih 23 electron volt karena, cahaya-cahaya lampu ini termasuk visible light range yang mengandung enersi 2.5 electron volt.
Contoh kedua, hampir setiap benda dapat beresonansi dengan cahaya infra merah (berasal benda panas/hot objects, termasuk matahari, api, dll., yang berfrekwensi: 1011 sampai 1014 hz). Karena itu hampir setiap benda dapat menerima panas. Kertas yang kita taruh di sinar matahari atau dekat api akan terasa panas, artinya kertas tersebut mendapat biasan energi dari matahari atau api. Akan tetapi, kalau kita masukkan kertas yang sama ke dalam microwave (gelombang microwave, berasal dari electron yang aktip pada konduktor yang frekwensinya 10 sampai 1011 hz, jadi lebih rendah dan frekwensi cahaya infra merah) kertas itu tidak akan menjadi panas (baca: tidak menerima imbasan energi).
Hal ini disebabkan kertas tersebut (atomic structure-nya) dapat beresonansi dengan cahaya infra merah tetapi tidak dapat beresonansi dengan cahaya microwave.
Sekarang terjawablah pertanyaan kita di atas, yaitu suatu sumber cahaya/enegsi yang bergetar dapat berhubungan dengan benda yang juga bergetar apabila si benda dapat bergetar pada frekwensi yang sama dengan cahaya yang datangnya dari sumber cahaya/energi itu, sehingga keduanya beresonansi. Lebih dari itu kita juga tahu bahwa kalau suatu sumber cahaya berhubungan (baca: beresonansi) dengan suatu benda, hubungan menyebabkan terjadinya pengimbasan energi dari si sumber cahaya kepada si benda.
Telah jelas pada kita sekarang, bagaimana prosesnya sebuah sumber cahaya yang bergetar pada frekwensi tertentu dapat berhubungan dengan benda yang juga bergetar pada frekwensi yang sama. Akan tetapi, tujuan kita pada tulisan ini adalah untuk mendapat pengertian bagaimana caranya sebuah sumber cahaya yang bergetar pada frekwensi yang lebih tinggi dapat berhubungan dengan benda, termasuk manusia, yang bergetar pada frekwensi yang lebih rendah. Atau, dengan kata lain, yang ingin kita pelajari adalah bagaimana ilmu fisika menjelaskan judul tulisan kita : "Allah memimpin kepada cahayaNya siapa yang Ia kehendaki." Sebelum kita melangkah lebih lanjut perlu kita perjelas beberapa hal.
Pertama-tama, perlu kita sadari bahwa yang kita coba teliti di sini adalah perumpamaan. Ini kita laksanakan karena memang banyak sekali perintah Allah dalam Al-Qur'an agar kita menyimak perumpamaan-perumpamaan yang dibuat-Nya di alam ini untuk dapat lebih mendekatkan diri padaNya. Mulai dari perumpamaan sarang laba-laba, lalat, unta, dan banyak lagi yang lain, termasuk mengenai cahaya seperti pada Surat An- Nur di atas.
Yang kedua, tidaklah dapat kita mengukur 'frekwensi' Allah, karena sesuatu yang kita bisa ukur berarti bisa didefinisikan. Sesuatu yang. dapat didefinisikan berarti definit (terbatas), karena itu, yang dapat kita ukur pasti bukan Allah yang tiada suatupun menyerupaiNYA (Al-Ikhlas:4). Yang kita tahu Allah adalah An-Nur/Maha Sumber Cahaya, Al-Qawiy/Maha Kuat, Al-Kohar/Maha Mengalahkan dan Al-Hasya/Maha Sempurna. Kata 'maha', kalau kita teliti betul, bukanlah berarti 'tinggi', atau 'sangat tinggi' seperti misalnya pada perkataan 'maha'-siswa. Kalau kita teliti dari matematika, perkataan maha berarti 'uncountable, beyond numbers'. Jargon matematikanya adalah 'infinity' () Karena itu dalam pembahasan perumpamaan Allah ini memadailah kalau kita katakan bahwa 'frekwensi' Allah adalah Infinity.
Yang ketiga, dalam setiap pekerjaan, seperti yang dinyatakan Allah dalam Surat An-Nur ayat 37 diatas, haruslah kita mendasarinya dari (petunjuk) Allah (petunjuk Allah, yang dalam bahasa Arab disebut 'diin', sering secara sempit kita artikan melulu sebagai syari'at, aturan dari apa-apa yang terasa oleh indera kasar kita dalam beragama').
Dengan mengambil 'diin' sebagai dasar pembahasan berarti kita bergerak dari alam rohani, karena, memang 'diin' itu berakar di sana. Inilah yang kita laksanakan pada tulisan ini. Kita ambil 'diin' (baca: tuntunan Allah) dalam Al-Qur'an yang berupa perumpamaan dan kita bahas perumpamaan ini, agar lebih teliti dan jelas, dengan memakai ilmu fisika. Sekarang marilah kita selidiki bagaimana sesuatu yang bergetar pada frekwensi tertentu dapat beresonansi dengan cahaya suatu sumber cahaya yang frekwensinya lebih tinggi dari frekwensi si benda itu.
Pada ilmu fisika ada dua syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu benda dapat beresonansi dengan sumber cahaya yang frekwensinya lebih tinggi dari frekwensi benda itu. Masing-masing syarat ini mutlak dipenuhi, dan syarat yang satu melengkapi syarat yang lain. Dalam jargon matematik kedua syarat ini disebut "sufficient condition" akan tetapi masing-masing syarat disebut sebagai "necessary but not sufficient condition":
1. Pada benda itu tidak terdapat internal friction yang menghalangi gerak natural dari gelombang atomnya.
2. Adanya apa yang disebut dalam jargon fisika sebagai harmonics, yaitu adanya frekwensi-frekwensi lain yang frekwensinya adalah merupakan kelipatan dari natural frekwensi dari si benda tadi.
Contoh dari syarat pertama, misalnya, seperti kita waktu kecil bermain ayun-ayunan. Pertama kali kita bermain ayunan, segera kita alami satu pelajaran bahwa kalau kita mau ayunannya tetap berayun pada ketinggian yang sama haruslah kita bergerak seirama dengan gerak ayunan tersebut. Kita tunggu sampai di penghujung lambungan ayunan, baru kita ayunkan badan kita ke muka atau ke belakang untuk tetap mempertahankan ketinggian lambungan. Kalau kita ayunkan badan kita sebelum ayunan sampai di ujung lambungannya terjadilah benturan dorongan (internal friction) yang menyebabkan lambatnya gerak ayunan tersebut. Contoh lain, lumpur jauh lebih lambat menyerap panas (beresonansi dengan sumber cahaya infra merah) dan tidak dapat menjadi merah membara kalau dibandingkan dengan besi, misalnya. Ini terjadi karena banyak sekali internal friction (pada atomic structure) lumpur dibanding dengan besi.
Contoh dari syarat kedua, misalnya, kita dapati dari alasan mengapa dilarangnya barisan tentara berjalan dengan derap serempak sewaktu melewati jembatan. Frekwensi dari energi yang terbit dari langkah serempak barisan tentara kalau kebetulan harmonis (kelipatan) dengan frekwensi jembatan akan dapat menyebabkan robohnya jembatan itu. Hal ini dikarenakan bertambah tingginya frekwensi bergetarnya jembatan tersebut, sedangkan bahan dari mana jembatan itu dibuat tidaklah dirancang untuk dapat menerima frekwensi setinggi itu.
Contoh lain. Kesalahan rancangan pesawat jet propeled Electra adalah terjadinya suatu keadaan dimana frekwensi perputaran propeler-nya harmonis (kelipatan) dengan frekwensi bergetar sayapnya karena benturan angin. Sewaktu ini terjadi pesawat tersebut pecah berantakan.
Sekarang, bagaimanakah kita bisa pergunakan analogi dari kedua persyaratan ini untuk dapat 'beresonansi' dengan Allah SWT, Sumber Cahaya Yang Maha Kuat Maha Sempurna, yang Frekwensi-Nya Infinity?
Di atas kita sebutkan bahwa persyaratan pertama untuk dapat lebih mempertinggi frekwensi benda, termasuk manusia, adalah dengan meniadakan internal friction yang menghalangi getaran natural dari atomic structure dari benda itu. Dari ilmu fisika, diatas kita ambil contoh dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bermain ayunan.
Di alam rohaninya, menurut Allah, natural frekwensi manusia adalah frekwensi 'yang menghamba/mematuhi' frekwensi Allah:
Dan tiada kujadikan jin 'dan manusia melainkan untuk menghamba kepadaKu", (Adz-Dzariyat (51): 56).
Untuk menghemat tempat, selanjutnya marilah kita sebut frekwensi ini sebagai frekwensi 'm' (manusia).
Seperti halnya contoh bermain ayunan di atas, ada hal-hal yang harus kita lakukan untuk tetap menjaga natural frekwensi ayunan itu, yaitu dengan mengayunkan badan kita ke belakang atau ke depan. Demikian pula, ada hal-hal yang harus kita lakukan untuk 'menjaga' natural frekwensi 'm', yang jelas dinyatakan Allah pada Surat An-Nur di atas, pada ayat 36 dan 37, yang intinya frekwensi itu adalah hidup 'Lillah". Pemeliharaan natural frekwensi 'm.' dalam pengertian ilmu fisika ini adalah identik dengan apa yang kita kenal dalam istilah agama sebagai Menegakkan Kalimah Tauhid," Laa Ilaaha Illallaah", yang menjadi sebagian dari Rukun Islam Pertama, yaitu Dua Kalimah Syahadat. Tanpa hidup "Lillah" dengan jelas, baik Al-Qur'an maupun ilmu fisika menyatakan tertutupnya pintu untuk dapat berhubungan (baca: beresonansi) dengan Allah. Karena, seperti kita jelaskan di atas, setiap benda bergetar dan beresonansi dengan cahaya yang frekwensinya sama.
Kalau kita tidak bergetar pada frekwensi 'm', tertutuplah kemungkinan untuk dapat beresonansi dengan sumber cahaya. yang frekwensinya lebih tinggi. Yang beresonansi dengan kita adalah sumber cahaya, atau sumber enersi, yang frekwensinya sama dengan kita, yaitu sumber energi selain Allah, baik itu namanya pangkat, keluarga, harta, bahkan surga sekalipun. Keadaan ini dinyatakan Allah sebagai Syirik, yang istilah agamanya diartikan sebagai "dosa yang tidak diampuni Allah" (An-Nisaa'(4): 48, 116), dan dalam ilmu fisikanya diartikan sebagai "tidak mendapat imbasan energi dari Sumber Energi yang frekwensinya Infinity."
Syarat yang kedua adalah harmonics yaitu adanya frekwensi lain yang menjadi kelipatan dari frekwensi 'm' ini. Dalam kehidupan sehari-hari, di atas, kita ambil contoh bagaimana energi dari derap langkah barisan tentara yang bergetar pada frekwensi tertentu, kalau kebetulan harmonis dengan frekwensi si jembatan, dapat mempertinggi natural frekwensi si jembatan.
Menurut Allah, frekwensi yang harmonis dengan frekwensi 'm' adalah:
Katakanlah, (ya Muhammad)! Jika kamu kasih kepada Allah, maka hendaklah ikut saya, pastilah Allah mengasihi kamu dan mengampuni dosamu. Allah Pengampun dan Penyayang". (Ali Imran (3): 31)
Dalam terjemahan fisikanya, 'mereka yang kasih kepada Allah' adalah frekwensi 'm', sedangkan 'Muhammad' adalah kelipatan dari frekwensi 'm'. Ini bisa terjadi karena kalau Muhammad itu bukan kelipatan frekwensi 'm' mustahil Muhammad bisa diikuti (baca: beresonansi dengan) frekwensi 'm' seperti diperintahkan Allah Yang Maha Tahu pada FirmanNya di atas.
Apakah sebenarnya yang menyebabkan 'Muhammad' berfrekwensi kelipatan frekwensi 'm' (untuk menghemat tempat selanjutnya akan kita sebut 'Muhammad'=frekwensi 'M')? Karena Allah mengatakan:
Tiada kami mengutus engkau (ya Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi sekalian alam ". (Al-Anbiyaa (21): 107)
Dalam terjemahan fisikanya, seperti kita sebutkan di atas, kalau terjadi hubungan (baca: resonansi) antara satu frekwensi dengan frekwensi lain, pada saat yang sama juga terjadi imbasan energi. Kalau Allah mengatakan pada FirmanNya di atas, bahwa "diutusNya Muhammad untuk menjadi 'Rahmat'", terjemahan fisikanya adalah "telah terjadi imbasan enersi dari Frekwensi Infinity ke frekwensi 'M". Adakah buktinya imbasan enersi dari Frekwensi Infinity ke frekwensi 'M' dan frekwensi 'm' pernah terjadi?. Allah menerangkan siapa sebenarnya yang berperang pada Perang Badar yang dimenangkan oleh Kaum Muslimin walaupun jumlahnya sangat sedikit dibandingkan jumlah musuh mereka:
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar... "(Al-Anfaal (8): 17).
Inilah sebabnya Allah (baca: Frekwensi Infinity) menekankan kepada orang yang beriman (baca: frekwensi 'm') betapa pentingnya bersalawat (baca: beresonansi) kepada Muhammad (baca: frekwensi 'M'):
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya senantiasa bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (AI_Ahzab: 56).
Di atas tadi kita sebutkan bahwa persyaratan pertama, yaitu berfrekwensi hamba, frekwensi 'm', adalah jargon fisika untuk perkataan Menegakkan Kalimah Tauhid, Laa Ilaaha Illallaah. Sedangkan persyaratan kedua, beresonansi dengan frekwensi 'M' adalah jargon fisika untuk perkataan Muhammadar Rasuulullah.
Bersyukur kita pada Allah Yang Darinya Semua Ilmu Bersumber, terlihat oleh kita sekarang betapa 'exactnya' Islam itu. Tidak salahlah kalau Rasulullah mengatakan: "Islam itu Ilmiah dan Amaliah " (H.R.Bukhari).
Shalawat kepada Rasulullah kita dapati selalu menjadi sebutan kita pada pelaksanaan dari setiap rukun Islam. Bahkan sebelum muadzin memanggil orang shalat (adzan), doa yang dibaca adalah Firman Allah untuk bershalawat pada Nabi, yaitu Surat Al-Ahzab, 56 di atas. Begitu juga ibadah-ibadah lainnya. Bagi kita yang sering menghadiri Tahlilan bisa membuktikan ini dengan memperhatikan bacaan Tahlilan yang kita baca. Isinya penuh dengan Shalawat. Akan tetapi, seperti ditunjukkan analisa diatas, Shalawat itu menuntut syarat yang satu lagi yaitu tegaknya Kalimah Tauhid pada kita.
Tegaknya Kalimah Tauhid adalah buah dari mensucikan hati. Dalam Ilmu Agama Islam mensucikan hati ini dilaksanakan dalam Ilmu Tasawuf yang intinya adalah pelaksanaan Dzikhrullah, seperti dinyatakan Allah pada ayat 36 dari Surat An-Nur di atas. Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, pelaksanaan Dzikhrullah secara intensip selalu Beliau SAW lakukan paling sedikit 10 hari di tiap bulan Ramadhan.
Dari Abdullah bin Umar r.a., katanya: "Biasanya Rasulullah SAW i'tikaf pada sepuluh hari yang akhir daripada bulan Ramadhan," (H.R.Bukhari).
Saat sekarang ini mungkin tidak bisa kita tinggal di Mesjid melaksanakan i'tikaf, memadailah kalau kita melaksanakannya di rumah masing-masing seberapa kita dapat pada bulan Ramadhan yang suci ini.
Sebagai penutup, marilah kita simak bagaimana kelak manusia dimasukkan Allah ke neraka atau ke surga.
Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahannam berombong-rombongan...(Az- Zumar: 71).
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga berombong-rombongan ..." (Az-Zumar: 73)
Sekali lagi Firman-Firman Allah ini menunjukkan kebenaran analisa fisika di atas, yang masuk ke neraka dengan berombong-rombongan (baca: beresonansi), dan yang masuk ke surga juga dengan berombong-rombongan (baca: beresonansi). Insya Allah, Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang menggolongkan kita pada golongan yang kedua kelak. Amin_Aml.
by. SURAU KITA
Allah Membimbing Kepada Cahaya-Nya Siapa Yang Ia Kehendaki
Senin, 23 Agustus 2010
Label:
Agama Islam
Terima Kasih telah berkunjung di Blog SIEF Empowerment.
Blog Motivasi, Inspirasi, Pengembangan diri dan bisnis. Sukses adalah Hak kita semua, mari benahi diri untuk masa depan yang lebih baik. Salam